Rabu, 03 Oktober 2012

Sejarah Jurnalistik Indonesia


Sejarah jurnalistik Indonesia

Add caption

Seiring era Reformasi yang dikumandangkan dari Sabang sampai Merauke oleh para Reformis, menggantikan era totaliterisme Soeharto, maka dunia jurnalisme kita mendapatkan angin segar dalam menyampaikan informasi kepada khalayak umum tanpa takut adanya ancaman pembredelan.
Tak kurang dari 32 tahun dunia jurnalisme kita mandul dan harus berfungsi sebagai corong pemerintahan Orde Baru yang jauh dari idealisme pers sebagai kontrol sosial. Bahkan sejak akhir masa kekuasaan Soekarno (orde lama), pun dunia jurnalisme kita telah diarahkan menjadi corong pemerintahan. Di era orde lama, institusionalisme pers yang berkembang adalah bagaimana sebuah lembaga penerbit pers dapat melibatkan diri dalam pertentangan antar partai. Masing-masing media cetak berfungsi sebagai corong perjuangan partai-partai peserta pemilu 1955. Beberapa partai seperti PNI mempunyai Suluh Indonesia, Masyumi mempunyai Abadi, NU mempunyai Duta Masyarakat, PSI mempunyai Pedoman dan PKI mempunyai Harian Rakyat. Jadi fungsi media di era Orde Lama tak lain sebagai media perjuangan partainya masing-masing.
Sejak pencabutan pengaturan mengenai SIUPP dan kebebasan penyajian berita serta informasi di berbagai bentuk pada tahun 1999 disahkan UU Pers No 40/1999. Mulai saat itu dunia jurnalisme kita lepas dari pemasungan yang selama akhir masa Orde lama dan orde baru menjerat demokratisasi pers kita. Tak lama kemudian dalam merayakan kemenangan sistem demokrasi muncul berbagai macam ribuan media massa baik cetak maupun elektronik yang tak terbendung lagi memberikan warna kebebasan dalam dunia jurnalisme kita.
Namun gagasan otonomi pers selama ini disalahtafsirkan menjadi kebebasan pers yang tanpa batas etika. Bahkan hemat saya, kebebasan pers di era Reformasi telah jauh meninggalkan kode etik jurnalistik dan lebih liberal dari pers Amerika yang menganut paham leberalisme pers sekalipun. Hal itu terlihat dari beberapa media pers kita yang menyebarkan berita mengarah ke dunia pornografi, kriminal, kekerasan serta mengabaikan nilai-nilai perjuangan kemanusiaan. Mengingat sesuai dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang pers secara tegas sebagai kedaulatan rakyat, dan berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Posisi Jurnalis
Tantangan idealisme pers masa kini bukan menentang atau harus berkiblat kepada kekuasaan namun justru bagi para jurnalis dihadapkan dengan institusionalisme pers yang cenderung komersil dan tantangan dari para kapitalisme yang mencoba mengarahkan media sesuai dengan keinginannya. Mengingat antara institusionalisme pers dan kapitalisme tentu mereka mempunyai interest untuk mengarahkan media sesuai dengan kehendaknya. Namun yang jadi pokok permasalahannya ialah ketika media menempatkan sebagai penyampai informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial tidak diprioritaskan.

Dengan demikian ungkapan yang selama ini populis dengan jurnalisme berjuang melalui pena dalam kaitan dengan tanggung jawab etis para jurnalis tidak sekedar berkaitan dengan dunia teknis tulis-menulis jurnalistik, namun justru merupakan simbol di dalam proses interaksi yang sangat rumit di antara faktor-faktor eksternal dan internal media pers, yakni Jurnalis sebagai kuli tinta harus tegas memperjuangkan kebenaran sejati di atas institusionalisme pers dan kapitalisme yang cenderung lebih menampakan komersialisasi dibandingkan dengan media sebagai penyampai informasi secara akurat dan terpercaya. Menurut Hoheberg berpendapat bahwa terdapat empat unsur penopang tipe ideal seoang jurnalis, yaitu, a) Tidak pernah berhenti dalam mencari kebenaran, b) Mampu menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman, c) Mampu melaksanakan tugas-tugas yang berguna bagi masyyarakat, d) Mampu menjaga dan memelihara kebebasannya. Mengingat peran wartawan dalam mengkonstruksi berita sangat penting terhadap keselarasan informasi kepada khalayak umum.
Sebagai Media Perjuangan
Di tengah-tengah arus informasi yang tak terbendung lagi maka media mempunyai peran yang sangat vital dalam menyampaikan berita yang dibutuhkan oleh khalayak umum. Meskipun di era Reformasi tantangan jurnalisme kita masih menghadapi institusionalisme pers yang cenderung kkomersial dan godaan syahwat kapitalisme. Belakangan ini Setidaknya media baik cetak maupun elektronik telah merambah memperjuangkan keadilan terhadap orang kecil. Misalnya belakangan ini, beberapa televisi swasta kita telah berpartisipasi dengan menggalang “koin untuk Prita” sebagai gerakan sosial anti-diskriminasi hukum yang dibebankan terhadap Prita Mulyasari, alih-alih dianggap telah mencemarkan nama baik RS. Omni Internasional dengan denda 204 juta. Bahkan gerakan sosial “koin untuk Prita” merambah ke berbagai elemen sosial dari pengamen sampai pejabat negara.

Oleh karena itu, pers tak hanya sekedar berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial namun juga berperan sebagai media perjuangan. Tentu bukan memperjuangkan sebuah partai dalam memenangkan Pemilu seperti yang terjadi di era Orde Lama atau sebagai corong pemerintahan seperti yang terjadi di era Orde Baru. Namun pers secara etis mempunyai beban moral untuk memperjuangkan terhadap segala bentuk penindasan dan ketidakadilan di muka bumi ini.


 Sekilas Perkembangan Jurnalistik
1. Kelahiran Wartawan Pertama
Dapat disebutkan bahwa wartawan-wartawan pertama lahir ketika zaman kepemimpinan Julius Caesar (100-44SM). Waktu itu sudah terdapat media bentukan pemerintah yaitu Acta senatus yang berisi hasil rapat senat dan Acta Diurna yang berisi hasil rapat rakyat dan berita lainnya. Para pemilik budak pada zaman itu menyuruh budaknya untuk mencari informasi tentang apapun sesuai keinginan majikannya yang nantinya dilaorkan dalam bentuk lisan maupun tulisan.
2. Zaman Penjajahan di Indonesia
Sejarah jurnalistik di Indonesia dimulai pada abad 18, tepatnya pada 1744 ketika Bataviasche Nouvelles diterbitkan oleh penjajah Belanda. Pada 1776 juga terbit Vendu Niews yang berisi tentang berita pelelangan, juga diterbitkan oleh Belanda sebagai penjajah Indonesia. Sedangkan surat kabar pertama sebagai bacaan orang pribumi ialah majalah Bianglala pada 1854 dan Bromartani pada 1885, keduanya di Weltevreden. Pada 1856 terbit Soerat Kabar Bahasa Melajoe di Surabaya.
Sejarah jurnalistik Indonesia pada abad 20 ditandai dengan munculnya Medan Prijaji yang didirikan oleh dan modal orang Indonesia, yaitu Tirtohadisuryo, untuk bangsa Indonesia. Mulanya pada 1907, surat kabar ini berbentuk dan baru pada 1910 berubah menjadi harian.
3. Dari Bulan Madu ke Gelap Gulita
Pers Indonesia yang pada era kemerdekaan 1945, menjadi pers yang berusaha dan berorientasi untuk mengisi dan mempertahankan kemerdekaan berubah haluan menjadi pers partisan pada 1950. Pers pada saat itu hanya merupakan corong bagi partai politik, hanyut dalam dunia politik praktis.
Era pers partisan tidak berlangsung lama karena setelah Dekrit Presiden 1 Juli 1959, pers Indonesia memasuki masa gelap gulita. Setiap perusahaan penerbitan haris memiliki Surat Izin Terbit (SIT). Apalagi ketika setiap surat kabar harus menginduk pada organisasi pokitik atau organisasi massa. Hal ini membuat wartawan sulit untuk mengeluarkan pikirannya lewat media tempat ia bekerja. Wartawan harus mengikuti kebijakan redaksi yang menginduk pada suatu paham organisasi tertentu.
4. Kebebasan Jurnalistik Pasca 1965
Pada era setelah 1965 banyak terjadi perubahan. Perubahan ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama, peristiwa-peristiwa tegang yang terjadi setelah G-30S. Kedua, kebebasan pers menjadi lebih leluasa dibanding dengan periode sebelumnya. Ketiga, barangkali juga embrio sikap profesionalisme dalam redaksi dan dalam pengelolaan bisnis berupa sirkulasi, iklan, serta pengelolaan keuangan (Oetama, 1987:26).
Konflik-konflik yang terjadi mendorong masyarakat untuk mencari informasi lewat pers. Kemudian terjadilah proses lahir dan didiskusikannya gagasan politik, ekonomi, budaya. Surutnya partai-partai membuat media massa tidak lagi berafiliasi dengan parpol. Kondisi ini membuat pers dapat menjadi media yang independen cenderung mengambil jarak dengan parpol yang pada akhirnya menjadi alat kontrol sosial.
Sistem ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah pada saat itu, yaitu sistem ekonomi yang merujuk pada sistem pasar internasional, turut mempengaruhi pertumbuhan pers Indonesia. Bagian substansial dari ekonomi pasar adalah persaingan produk, promosi, dan periklanan. Bisnis iklan dan mimbar promosi lewat iklan, berkembang, di antaranya adalah surat kabar. Surat kabar bermunculan akibat dari kondusifnya situasi untuk berbisnis surat kabar. Surat kabar berkembang menjadi sarana ekonomi dan dapat tumbuh dengan subur. Tetapi sebagai wahana ekspresi, peyalur pendapat umum, dan pengemban fungsi kontrol sosial, pers dihadapkan pada berbagai pembatasan dan tekanan dari pihak penguasa (pemerintah). Sejarah menunjukkan bahwa kekuasaan orde baru sangat represif ketika pers menyentuh bidang politik (kekuasaan) pemerintah. Ditandai dengan dibreidelnya mingguan Mahasiswa Indonesia di Bandung dan diikuti sebelas penerbitan pers umum (peristiwa Malari).

Berdasarkan sumber : http://rosit.wordpress.com/2009/12/14/jurnalisme-perjuangan/

http://catatancalonwartawan.wordpress.com/2009/03/04/rangkuman-buku-jurnalistik-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar