Dengan
karakteristik small open economy, Indonesia tidak bisa lepas dari
pengaruh percaturan ekonomi global. Kasus Subprime Mortgage yang
mengantarkan ekonomi AS ke jurang resesi, juga ikut menggoyang
stabilitas ekonomi nasional khususnya di sektor keuangan. Lantas,
bagaimana agar Indonesia tidak ikut terperosok ke jurang tersebut?
Krisis
1997 memberi banyak pelajaran pada bangsa ini mengenai cara menghadapi
gejolak ekonomi. Krisis ini bukan muncul di Indonesia, tapi di Thailand.
Rembetan dari Thailand menuju ke sejumlah negara Asia lainnya, termasuk
Indonesia telah memberikan efek yang berbeda di masing-masing negara.
Boleh dibilang, perekonomian Indonesia mendapat efek negatif paling
besar di antara negara-negara lainnya. Sebab, jantung ekonomi nasional
yakni perbankan mengalami kebangkrutan, sehingga berimbas pula pada
sektor riil. Akibatnya, negara-negara lain sudah pulih dari krisis,
Indonesia masih terkapar dan tertatih-tatih menuju kebangkitan ekonomi.
Model
yang sama ditemui saat ini. Krisis lembaga finansial ini terjadi di
Amerika Serikat ditandai dengan bangkrutnya sejumlah bank investasi.
Masalahnya, krisis finansial di AS akan berimbas pula pada sektor
finansial di Indonesia, terutama pasar saham dan valuta asing. Hal ini
tidak dapat dimungkiri karena integrasi pasar keuangan dunia disertai
dengan liberalisasi pasar finansial memuluskan hal tersebut terjadi.
Pun, karena orang asing merupakan penguasa modal dominan di bursa saham.
Mereka sangat sensitif dengan gejolak ekonomi di AS sehingga terdorong
melakukan aksi jual. Adapun pelarian kapital ke luar akan meningkatkan
permintaan dolar terhadap rupiah, sehingga rupiah terdepresiasi terhadap
dolar AS.
Nah, agar bangsa ini tidak ikut
terperosok ke jurang krisis, hal pertama yang harus dilakukan adalah
menyelamatkan sektor finansial kita. Agar krisis 1997 tidak terulang
kembali, pemerintah harus menjaga sistem perbankan agar tetap berjalan
sebagaimana mestinya. Kepercayaan nasabah harus dijaga, salah satunya
dengan memberikan jaminan simpanan yang lebih tinggi. Langkah ini sudah
dilakukan pemerintah, yakni menaikkan level simpanan yang dijamin sampai
Rp 2 miliar dari sebelumnya hanya Rp 100 juta. Dengan jaminan ini,
nasabah akan tetap percaya pada bank, sebagai tempat mereka menitipkan
uang.
Hanya saja, ironis bila pemerintah
menaikkan suku bunga BI yang hingga kini mencapai level 9,5 persen.
Alasan pemerintah, dalam hal ini BI, adalah untuk menekan inflasi 2009
agar sesuai targetnya. Namun, sektor riil lah yang menjadi korban
terhadap naiknya suku bunga acuan tersebut. Selain itu, gejolak ekonomi
global juga berimbas pada ekspor dan impor yang bisa menurunkan
pertumbuhan.
Di sisi ekspor, semestinya terjadi
kenaikan pendapatan karena harga produk domestik relatif lebih rendah di
luar negeri. Akan tetapi, di masa krisis, permintaan luar negeri
terhadap produk domestik pun ikut berkurang, sehingga volume ekspor
turun. Langkah yang harus dilakukan adalah melakukan diversifikasi
negara tujuan ekspor. Selama ini, negara-negara maju seperti Amerika
Serikat, Jepang, Australia, dan sejumlah negara Eropa Barat menjadi
tujuan ekspor utama. Ke depan, pemerintah perlu memperluas diversifikasi
tujuan ekspor terutama ke negara-negara Timur Tengah, yang saat ini
kelebihan likuiditas.
Dampak lebih parah lagi
dilihat di sisi impor, sebab harga yang dibayarkan terhadap produk impor
relatif lebih tinggi dibanding sebelumnya. Akibatnya, produk impor
khususnya yang digunakan untuk bahan baku industri menjadi lebih mahal,
sehingga harga-harga barang ikut naik. Sehingga, ketergantungan pada
produk impor juga harus dikurangi sedikit demi karena hal tersebut akan
mengurangi cadangan devisa nasional.
Oleh
karenanya, langkah antisipasi di sektor finansial terutama perbankan
merupakan langkah pertama yang harus dilakukan. Sedangkan di sektor
riil, pemerintah perlu menjaga surplus neraca perdagangan, dengan
meningkatkan volume ekspor dan mengurangi ketergantungan pada produk
impor. Sejumlah strategi inilah yang bisa menghindarkan Indonesia dari
jurang krisis.
(by:randy)