Secara etimologis, jurnalistik dapat
diartikan sebagai suatu karya seni dalam hal membuat catatan tentang peristiwa
sehari-hari. Karya seni dimaksud memiliki nilai keindahan yang dapat menarik
perhatian khalayaknya (pembaca, pendengar, pemirsa), sehingga dapat dinikmati
dan dimanfaatkan untuk keperluan hidupnya.
Secara lebih luas, pengertian atau
definisi jurnalistik adalah seni dan keterampilan mencari, mengumpulkan,
mengolah, menyusun, dan menyajikan berita tentang peristiwa yang terjadi
sehari-hari secara indah, dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hati nurani
khalayaknya, sehingga terjadi perubahan sikap, sifat, pendapat, dan perilaku
khalayak sesuaia dengan kehendak para jurnalisnya. (Kustadi Suhandang, 2004 :
21)
Masih banyak definisi atau pengertian jurnalistik, antara lain kejadian
pencatatan dan atau pelaporan, serta penyebaran tentang kejadian sehari-hari
(Astrid S. Susanto, 1986, Komunikasi Massa, Hal. 73).
Onong Uchjana Effendy (1981: 102) menyatakan bahwa jurnalistik merupakan
kegiatan pengolahan laporan harian yang menarik minat khalayak, mulai dari
peliputan sampai penyebarluasannya kepada masyarakat.
A.W. Widjaja (1986: 27) menyebutkan bahwa jurnalistik merupakan suatu kegiatan
komunikasi yang dilakukan dengan cara menyiarkan berita ataupun ulasannya
mengenai berbagai peristiwa atau kejadian sehari-hari yang aktual dan faktual
dalam waktu secepat-cepatnya.
Ensiklopedi Indonesia secara rinci menerangkan bahwa jurnalistik adalah
bidangprofesi yang mengusahakan penyajian informasi tengang kejadian dan atau
kehidupan sehari-hari secara berkala, dengan menggunakan sarana-sarana
penerbitan yang ada.
Di bawah ini adalah sejarah jurnalistik
Sejarah
Jurnalistik
Pengertian Jurnalistik
Jurnalistik atau Jurnalisme berasal dari kata journal, artinya catatan harian,
atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga berarti suratkabar.
Journal berasal dari perkataan latin diurnalis, yaitu orang yang melakukan
pekerjaan jurnalistik.
Di Indonesia, istilah ini dulu dikenal dengan publisistik. Dua istilah ini
tadinya biasa dipertukarkan, hanya berbeda asalnya. Beberapa kampus di Indonesia
sempat menggunakannya karena berkiblat kepada Eropa. Seiring waktu, istilah
jurnalistik muncul dari Amerika Serikat dan menggantikan publisistik dengan
jurnalistik.
Sejarah Jurnalistik Berdasarkan Sejarah
Bangsa Romawi
Dalam sejarah Kerajaan Romawi disebutkan bahwa Raja Imam Agung menyuruh orang
untuk membuat catatan tentang segala kejadian penting. Catatan itu itu di buat
dan digantungkan di serambi rumah raja, sebagai pemberitahuan bagi orang yang
lewat dan memerlukannya.
Pengumuaman dengan cara demikian kembali dilakukan Julius Caesar dalam masa
kejayaannya. Saat berkuasa, Julius Caesar memerintahkan agar hasil sidang dan
kegiatan para anggota senat setiap hari diumumkan pada “Acta Diurna”. Demikian
pula berita tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta
apa yang perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya. Papan pengumuman itu
ditempelkan atau dipasang di pusat kota yang disebut “Forum Romanum” (Stadion
Romawi) untuk diketahui oleh umum.
Berita di “Acta Diurna” kemudian disebarluaskan. Saat itulah muncul para
“Diurnarii”, yakni orang-orang yang bekerja membuat catatan-catatan tentang
hasil rapat senat dari papan “Acta Diurna” itu setiap hari, untuk para tuan
tanah dan para hartawan.
Dari kata “Acta Diurna” inilah secara harfiah kata jurnalistik berasal yakni
kata “Diurnal” dalam Bahasa Latin berarti “harian” atau “setiap hari.” Diadopsi
ke dalam bahasa Prancis menjadi “Du Jour” dan bahasa Inggris “Journal” yang
berarti “hari”, “catatan harian”, atau “laporan”. Dari kata “Diurnarii” muncul
kata “Diurnalis” dan “Journalist” (wartawan).
Lambat laun para “Diurnarii” kemudian menyadari akan pentingnya informasi yang
mereka dapat, hal itulah yang memotivasi mereka untuk menjual catatannya dan
tidak lagi menjadi budak. Para Diurnarri berlomba-lomba mendapatkan informasi
penting secara cepat untuk disebarluaskan, yang kemudian menimbulkan korban
pertama kalinya dalam dunia jurnalistik. Dimana seorang Diurnarri yang bernama
Julius Rusticus dihukum gantung atas tuduhan mengabarkan berita yang masih
belum boleh dikabarkan atau masih rahasia. Berita itu adalah tentang rencana
mutasi seorang pembesar yang menurut Caesar belum waktunya diberitakan, karena
masih dalam pertimbangan, dan harus hati-hati karena akan timbul bahaya.
Sejarah Jurnalistik Dalam Kaca Mata Islam
Dalam sejarah Islam, cikal bakal jurnalistik yang pertama kali di dunia adalah
pada zaman Nabi Nuh. Saat banjir besar melanda kaumnya, Nabi Nuh berada di
dalam kapal beserta sanak keluarga, para pengikut yang saleh, dan segala macam
hewan.
Untuk mengetahui apakah air bah sudah surut, Nabi Nuh mengutus seekor burung
dara ke luar kapal untuk memantau keadaan air dan kemungkinan adanya makanan.
Sang burung dara hanya melihat daun dan ranting pohon zaitun yang tampak muncul
ke permukaan air. Ranting itu pun dipatuk dan dibawanya pulang ke kapal. Nabi
Nuh pun berkesimpulan air bah sudah mulai surut. Kabar itu pun disampaikan
kepada seluruh penumpang kapal.
Atas dasar fakta tersebut, Nabi Nuh dianggap sebagai pencari berita dan penyiar
kabar (wartawan) pertama kali di dunia. Kapal Nabi Nuh pun disebut sebagai
kantor berita pertama di dunia.
Sejarah Jurnalistik di Dunia
Seiring dengan kemajuan teknologi informasi maka yang bermula dari laporan
harian maka tercetak manjadi surat kabar harian. Dari media cetak berkembang ke
media elektronik, dari kemajuan elektronik terciptalah media informasi berupa
radio. Tidak cukup dengan radio yang hanya berupa suara muncul pula terobosan
baru berupa media audio visual yaitu TV (televisi). Media informasi tidak puas
hanya dengan televisi, lahirlah berupa internet, sebagai jaringan yang bebas
dan tidak terbatas. Dan sekarang dengan perkembangan teknologi telah melahirkan
banyak media (multimedia).
Surat kabar pertama kali terbit di Cina tahun 911, yaitu Kin Pau. Surat Kabar
ini milik pemerintah ketika zaman Kaisar Quang Soo. Tidak berbeda dengan di
Jaman Caesar, Kin Pau berisi keputusan rapat, hasil musyawarah dan berbagai
informasi dari Istana.
Di Eropa tidak jelas siapa pelopor pertamanya. Namun, padi 1605, Abraham
Verhoehn di Antwerpen Belgia mendapat izin mencetak Nieuwe Tihdininghen.
Akhirnya, pada 1617, selebaran ini dapat terbit 8 hingga 9 hari sekali.
Beranjak ke Jerman, di tahun 1609, terbitlah surat kabar pertama bernama Avisa
Relation Order Zeitung. Pada 1618, muncul surat kabar tertua di Belanda bernama
Coyrante uytItalien en Duytschland. Surat kabar ini diterbitkan oleh Caspar
VanHilten di Amsterdam. Kemudian surat kabar mulai bermunculan di Perancis
tahun 1631, di Itali tahun 1636 dan Curant of General newsterbit, surat kabar
pertama di Inggris yang terbit tahun 1662.
Sejarah Jurnalistik di Indonesia
Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda. Beberapa
pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan jurnalisme sebagai alat
perjuangan. Di era-era inilah Bintang Timur, Bintang Barat, Java Bode, Medan
Prijaji, dan Java Bode terbit.
Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang.
Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia Raja,
Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia.
Pers Nasional muncul pada abad ke-20 di Bandung dengan nama Medan Priayi. Media
yang dibuat oleh Tirto Hadisuryo atau Raden Djikomono, diperuntukan sebagai
alat perjuangan pergerakan kemerdekaan. Tirto Hadisuryo akhirnya dianggap
sebagai pelopor peletak dasar-dasar jurnalistik modern di Indonesia.
Namun sebuah sumber mengatakan bahwa Negarakertagama lah jurnalistik pertama di
Indonesia. Karya Nagarakretagama bukan sekadar karya biasa. Keluarbiasaan
Nagarakretagama terletak pada isi yang berupa laporan nyata tentang keadaan
Majapahit saat itu. Banyak pakar sependapat bahwa Nagarakretagama merupakan
karya jurnalistik pertama di Indonesia. Pendapat ini disimpulkan mengingat ciri
utama karya jurnalistik telah terpenuhi dalam Nagarakretagama, yakni adanya
peristiwa atau fakta yang dikomunikasikan dan mampu menarik perhatian orang
karena keaktualannya. Dalam mencari data Prapanca menggunakan metode pengamatan
dan wawancara dengan seorang tokoh pendeta.
Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi jurnalisme. Pemerintah Indonesia
menggunakan Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi. Menjelang
penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak
tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar
hitam putih.
Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembreidelan media massa.
Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh kentara
dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan
dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan
Aliansi Jurnalis Indepen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih,
Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara.
Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto.
Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya
organisasi profesi.
Kegiatan jurnalisme diatur dengan Undang-Undang Penyiaran dan Kode Etik
Jurnalistik yang dikeluarkan Dewan Pers.